Peta Potensi Knowledge Management dalam Organisasi
Agar potensi knowledge setiap karyawan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, perusahaan memerlukan informasi secara lengkap mengenai aset berharga ini. Sebagai sebuah langkah untuk mendeteksi adanya tacit knowledge, maka perlu dilakukan pendataan lewat kuesioner yang disebar kepada semua orang. Dengan langkah ini, organisasi akan mempunyai peta potensi knowledge yang dimiliki secara strategis (Bambang Setiarso dkk, 2009, p9).
Seluruh peta dan kategori knowledge ini juga menjadi dasar pertimbangan bagi kebijakan rotasi, promosi, mutasi sampai dengan berbagai pelatihan bagi karyawan. Pada gilirannya, organisasi dapat memperkuat setiap pos pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh karyawannya (Bambang Setiarso dkk, 2009, p9).
Penerapan Knowledge Management dalam Organisasi
Penerapan knowledge management pada suatu organisasi merupakan suatu proses yang cukup panjang dimana mencakup perubahan perilaku semua karyawan. Birkinsaw menggarisbawahi tiga kenyataan yang mempengaruhi berhasil tidaknya knowledge management, yaitu (Bambang Setiarso dkk, 2009, p23):
- Penerapannya tidak hanya menghasilkan knowledge baru, tetapi juga mendaur ulang knowledge yang sudah ada.
- Teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsi-fungsi jaringan sosial antar anggota organisasi.
- Sebagian besar organisasi tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Banyak knowledge penting yang harusnya dtemukan lewat upaya-upaya khusus. Padahal knowledge sudah dimiliki sebuah organisasi sejak lama.
Organisasi yang mencoba menerapkan Organizational Knowledge Management System (OKMS) merupakan organisasi yang bertindak sebagai katalis dan pengelola knowledge yang akan mengidentifikasi, memahami dan menguasai knowledge di bidang tertentu. Dengan demikian, organisasi tersebut akan menjadi organisasi professional dalam perannya sebagai pengelola knowledge bidang tertentu. Untuk itu diperlukan upaya untuk mendorong terjadi dan dihargainya suatu knowledge sharing dan knowledge re-use (penggunaan kembali knowledge bidang tertentu) melalui kontak pribadi atau jaringan yang dihasilkan dari dua hal, yaitu tacit knowledge para pakar suatu bidang dari knowledge individu atau kelompok mengenai pengalaman mereka, sedangkan explicit knowledge dapat berupa proses, metode, cara, pola dan pengalaman.
Bila penguasaan terhadap kedua knowledge tersebut dipahami dan dikuasai organisasi, knowledge akan menjadi aset dari organisasi tersebut. Dengan demikian, akan terjadi siklus knowledge yaitu dari suatu pengalaman menjadi asset knowledge.
Apabila knowledge tertentu sudah menjadi asset organisasi, akan tersusun suatu struktur dan isi knowledge suatu bidang (knowledge content and structure) yang berupa peta knowledge. Dengan demikian dalam organisasi terdapat dua faktor, yaitu knowledge process dan knowledge management. Kedua hal ini merupakan pekerjaan semua orang dalam organisasi. Kegiatan tersebut dapat berupa knowledge transfer, knowledge generation and harvesting, knowledge maping serta codification dan coordination.
Aplikasi dari knowledge management dan knowledge sharing harus diupayakan agar menjadi suatu budaya dalam organisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan knowledge sharing yang didasarkan kepercayaan. Dalam lingkungan pasar global, knowledge menjadi senjata yang ampuh untuk bersaing. Kegiatan mengelola knowledge secara efektif menjadi sangat penting sehingga akhirnya akan menjadi core competence (Bambang Setiarso dkk, 2009, p25 – p27).